Wahananews-Papua Barat | Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua menyelenggarakan Eksaminasi Publik atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XVII/2019 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat, kemarin, Rabu, 22 Juni 2022 di Jakarta.
Eksaminasi ini diselenggarakan untuk menganalisa secara objektif Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ditinjau dengan beragam perspektif diantaranya Hukum Acara MK, Hukum HAM Internasional, Antropologi, Sejarah dan lain sebagainya.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Dalam siaran pers Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua kepada Papua-Barat.WahanaNews.co, Kamis (23/6) menyampaikan bahwa PEPERA merupakan isu besar yang tidak pernah diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia.
Pengabsahan PEPERA pada tahun 1969 meminggirkan pengalaman pahit Orang Asli Papua (OAP) yang terbunuh, berjatuhan, ditangkap secara sewenang-wenang, didiskriminasi, diperkosa, disiksa, dibunuh, dan diperlakukan dengan buruk oleh negara, manakala masyarakat Papua mempersoalkan keabsahan PEPERA karena merasa PEPERA dilaksanakan secara tidak adil, tidak terbuka, dan tidak partisipatif.
Atas inisiasi Dewan Masyarakat Adat Papua dan Papua Barat, empat belas individu/organisasi mengajukan permohonan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Irian Barat.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Para pemohon merupakan perwakilan dari masing-masing ketujuh wilayah adat, gereja-gereja, serta organisasi perempuan di tanah Papua, yaitu: Zadrack Taime perwakilan dewan adat Papua wilayah I Mamta, Yan Pieter Yarangga perwakilan dewan adat Papua wilayah II Saireri, Paul Finsen Mayor perwakilan dewan adat Papua wilayah III Doomberay, Sirzet Gwaswas (Alm) perwakilan adat Papua wilayah IV Bomberay, Oktovianus Pekei perwakilan adat Papua wilayah V Mee-pago, Albertus Moyuend perwakilan adat Papua wilayah VI Ha-anim, Yohanes Petrus Kamarka, Djanes Marambur, Yosepa Alomang, Karel Philemon Erari, Pendeta Herman Awom, Thaha M. Alhamid, Solidaritas Perempuan Papua, Kemah Injil Gereja Masehi (Kingmi) di Tanah Papua.
Tim kuasa hukum mempertanyakan konstitusionalitas Penjelasan Umum pada UU No. 12/1969 yang menyatakan bahwa “... sebagai bentuk manifestasi aspirasi rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannya dengan … NKRI, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah NKRI”.
Permohonan pengujian legislasi ini merupakan upaya untuk mendorong MK melihat dinamika sosial dan sejarah di atas semata-mata pertimbangan hukum yang kaku dan tidak mencerminkan keadilan.