PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Sorong – Pemindahan empat tahanan politik Papua Abraham G. Gamam, Nikson Mai, Maksi Sangkek, dan Piter Robaha dari Rutan Sorong ke Makassar pada 27 Agustus 2025 oleh Kejaksaan Agung menjadi bukti nyata represi sistemik terhadap rakyat Papua.
Tindakan ini juga menegaskan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) tidak memiliki kesaktian dalam melindungi hak politik, sosial, dan budaya masyarakat Papua.
Baca Juga:
Begini Peranan Riza Chalid di Kasus Korupsi Minyak
Latar Belakang
Pada 14 April 2025, keempat aktivis melakukan aksi damai di sejumlah kantor pemerintahan di Papua Barat Daya, termasuk Kantor Gubernur, Majelis Rakyat, DPRD Papua Barat Daya, Wali Kota Sorong, Polresta Sorong, dan Polda Papua Barat Daya, untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan menyampaikan dokumen yang berisi permintaan dialog yang ditujukan kepada presiden Prabowo. Aksi tersebut bersifat terbuka, damai, dan dilindungi konstitusi.
Meski demikian, mereka ditahan dengan tuduhan makar (Pasal 106 KUHP) dan dipindahkan ke Makassar tanpa persetujuan keluarga atau tokoh adat.
Baca Juga:
Kejagung Tetapkan Riza Chalid Jadi Tersangka Pencucian Uang
Pemindahan ini melanggar aturan hukum yang menyatakan bahwa kasus harus diadili di tempat kejadian perkara (locus delicti), merusak hak atas peradilan adil (Pasal 14 ICCPR), dan memutus hubungan antara tahanan dengan keluarga serta komunitas. Tindakan ini juga melanjutkan pola kriminalisasi aksi damai di Papua, memperburuk ketidakpercayaan terhadap negara.
Otsus dan Mandat Rekonsiliasi
UU Otsus (No. 21/2001 dan No. 2/2021) seharusnya melindungi hak politik, sosial, dan budaya rakyat Papua. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa Otsus tidak mampu dijadikan sebagai alat rekonsiliasi substantif.