Bintuni, WahanaNews-Papua Barat | Puluhan orang terlihat memadati Kantor Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni, pada hari Kamis, (22/6/2023).
Puluhan orang tersebut secara bersama-sama menandatangani surat pernyataan untuk menjadi penjamin agar penahanan yang dilakukan pihak kejaksaan terhadap Andreas Asmorom dapat ditangguhkan.
Baca Juga:
Kejati Sumut Tetapkan Mantan Kadis Kesehatan Tapteng Tersangka Dugaan Korupsi BOK dan Jaspel
Sebelumnya, Andreas sebagai Kepala Bidang Perhubungan Darat, Dinas Perhubungan Kabupaten Teluk Bintuni ditahan oleh Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni, atas dugaan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Mobil Angkutan Pedesaan (Angdes), Tahun Anggaran 2021 pada Rabu, (21/6/2023).
Melkianus Indouw, salah satu kuasa hukum dari Andreas Asmorom dalam keterangan persnya mengatakan bahwa, apa yang dilakukan oleh puluhan keluarga pada hari ini merupakan bentuk solidaritas dan spontan.
Mereka adalah keluarga dari Andreas yang datang secara spontan untuk menjaminkan diri mereka supaya penangguhan penahanan terhadap Andreas dapat dikabulkan.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi BOK dan Jaspel, 3 Petinggi Dinkes Tapteng Dijatuhi Hukuman Displin Berat
Mereka percaya Andreas tidak bersalah. Karena apa? Karena sudah berkali-kali kami memberikan argumen hukum terkait tidak ditemukannya kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Jadi korupsinya di mana?," ujar pengacara yang kerap dipanggil Melki ini.
Melki menganggap penahanan Andreas ini sarat dengan unsur politis, karena seharusnya perkara ini terhenti di Tersangka Frans Lusianak, yang sudah membayar denda keterlambatan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh BPK.
"Saya tidak tahu motif jaksa apa dalam memaksakan kasus ini," ucap Melki.
Dengan bukti yang telah kami hadirkan, terkesan ada unsur kriminalisasi.
Mereka menggunakan hitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai dasar adanya kerugian negara.
Ini keliru, satu-satunya lembaga yang bisa men-declare kerugian negara dalam perkara korupsi adalah BPK. Bukan BPKP. Jadi kejaksaan Bintuni ini sudah melakukan pelanggaran hukum.
"Hal ini ironis, karena mereka adalah salah satu penegak hukum, kok melanggar hukum?," ungkap Melki.
Melki menegaskan bahwa YLBH Sisar Matiti akan menempuh segala macam upaya agar kasus ini bisa menjadi perhatian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
"Kami dari YLBH Sisar Matiti akan mengirimkan surat ke Komisi Kejaksaan, dan akan segera berangkat ke Jakarta untuk melakukan audiensi dengan pihak-pihak terkait atas adanya kriminalisasi ini. Ini kan aneh, BPK sendiri mengeluarkan rekomendasi agar Frans Lusianak sebagai pemenang tender itu hanya harus membayar denda keterlambatan, dan itu sudah dilakukan sebesar Rp73 juta," terangnya.
Lanjut Melki, Frans ini hanya terlambat dalam menyerahkan mobil dinas sebagaimana tertuang di dalam kontrak. Kalau mau jadi perkara, ya seharusnya ini adalah perdata. Kok bisa jadi perkara korupsi? Dan itupun semuanya telah selesai dilaksanakan. Ini kan aneh.
"Kejaksaan yang seharusnya tempat orang mencari keadilan, ini malah jadi alat kriminalisasi," demikian Melki. [hotbert purba]